Inovasi energi alternatif seperti tak mengenal kata selesai. Mulai dari gelombang laut yang diyakini mampu menghasilkan energi listrik yang tak sedikit, limbah buangan pun telah dibuktikan mampu menghasilkan energi.
Warga di
Nagari Kasang, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman,
Sumatera Barat, pun terbilang sukses menekan penggunaan energi minyak
untuk kebutuhan keluarga. Biogas organik hasil dari kotoran sapi
peliharaan Marsilam (57 tahun) mampu mengasapi dapurnya dan menekan
konsumsi minyak tanah.
Menurut
Marsilam, dalam tiga bulan belakangan, keluarganya menekan biaya
pengeluaran sebesar Rp150 per bulan sejak menggunakan biodigester hasil
kotoran sapi peliharaannya. Dari tiga ekor sapi miliknya, kotorannya
dapat mengepulkan asap dapur Marsilam hingga 2,5 jam tanpa henti.
“Untuk
keperluan keluarga sehari-hari, saya tidak pakai minyak tanah lagi,”
kata Marsilan pada VIVAnews, Selasa, 6 Maret 2012. Hasil ini terbilang
cukup ekonomis dibanding sebelum Marsilan menggunakan biogas dari hasil kotoran sapinya.
Upaya
memanfaatkan kotoran sapi ini tidak sengaja. Berawal dari penggunaan
kotoran sapi sebagai kompos (pupuk organik), tenaga ahli dari program
USAID FIELD Bumi Ceria menawarkan langkah ekonomis menampung gas
methana dari kotoran sapi.
Tim
dari FIELD memberikan mereka plastik PE (polythene) untuk membangun
instalasi proses kotoran sapi menjadi biogas. Biogas ini lalu disalurkan ke kompor gas.
“Ampasnya (sisa dari proses pembentukan gas dari kotoran sapi) juga digunakan sebagai kompos untuk padi saya,” kata Marsilam. Hasilnya, hasil panennya meningkat 25 persen.
Meskipun
baru mengenal proses ini, ia pun mengaku, proses ini lebih ramah
lingkungan dan mengurangi efek rumah kaca penyebab global warming.
Kini, teknologi yang awalnya dibangun di kediaman Marsilan telah dikembangkan
hingga ke Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Padang Pariaman.
“Pembentukan biogas dengan konsep seperti kita telah dikembangkan ke beberapa daerah,” ujarnya.
Modal Rp650 Ribu
Biogas memang bukan hal baru bagi Sumbar. Namun dua tahun belakangan, penggunaan energi ini marak dikembangkan. Selain itu, teknologinya pun makin murah dan terjangkau.
Program
Manager USAID’s FIELD Bumi Ceria, Syafrizaldi, pada VIVAnews mengaku,
pihaknya hanya membantu tenaga teknis dan biaya sebesar Rp650 ribu
untuk membangun sistem hingga ke dapur Marsilam. “Dengan teknologi
tepat guna, dan biaya hanya Rp650 ribu, api sudah menyala di dapur Pak Marsilam,” kata Syafrizaldi.
Menurut
Syafri, penggunaan biogas ini merupakan bentuk kesiapan membangun
nagari (desa) tangguh menghadapi bencana dan mengurangi efek rumah kaca
dari kotoran sapi milik warga. Setidaknya, sekitar 360 ekor milik warga di desa tersebut membuang gas methana ke alam terbuka setiap hari lewat kotorannya.
Kondisi ini dipertegas dengan keasaman tanah di desa tersebut yang cenderung digarap menjadi areal persawahan dan perkebunan. Hasil asestment FIELD, tanah pertanian di Kasang jenis Ultisol (Podzolik Merah Kuning) dengan tingkat keasaman antara agak masam (pH 5,5—5,9) dan netral (pH 6—7,5) di areal seluas 623 hektare.
“Kondisi
anaerob ini memugkinkan terjadinya proses produksi rumah kaca berupa
methana dalam lumpur sawah yang pada gilirannya akan menyumbang pada
pemanasan global,” kata Syafri.
Instalasi biogas yang menjadi pilot project di Nagari Kasang disiapkan
September 2011 lalu. Tim ahli biogas dari Yayasan FIELD membangun
instalasi biogas murah merancang biodigester yang mampu menampung
kotoran dan urin dua ekor sapi. Lubang dengan kedalaman 1 meter dan
panjang 5 meter serta lebar 1 meter akan menampung kotoran dan urine
sapi.
Tabung digester yang terbuat dari plastik akan menampung gas methana yang dihasilkan kotoran sapi tersimpan dengan baik serta dapat dialirkan ke rumah warga. Instalasi pipa akan membantu penyaluran biogas yang tertampung dalam digester yang sebelumnya telah dicampur lumpur sawah untuk mempercepat proses biogas sebelum bisa digunakan.
Proses methanogesesis (pembuatan gas methana dari kotoran sapi) akan terbentuk sekitar 20 hari sehingga bisa digunakan layaknya menggunakan kompor gas. Biodegester hanya diisi
sekitar tiga perempat bagian dengan kotoran sapi sehingga bisa
berproses untuk membentuk gas methana. Sedangkan untuk mengisi
biodigester hanya dibutuhkan kotoran dari dua ekor sapi saja.
Kepala dinas
Pertanian dan Holtikultura Sumbar, Joni, mengaku, program tersebut
merupakan pengembangan dari pertanian organik yang menjadi kebijakan
daerah. “Kita terus memfasilitasi ini dan telah dikembangkan dalam dua tahun belakangan,” ujar Joni.
Ia mengaku, dari awal pihaknya telah mengkampanyekan ini dengan konsep mengurangi penggunaan pupuk kimia di
areal pertanian Sumbar. Terkait penggunaan biogas dari kotoran sapi dan
perubahan iklim, dalam waktu dekat pihaknya akan menggelar pelatihan
bagi kelompok tani.
“Kami akan dukung itu dan pemerintah daerah akan terus memfasilitasinya. Ini kan bagian dari pertanian organik,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar